Rabu, 11 Februari 2009

Fatwa MUI :
GOLPUT WAJIB !
GOLPUT HARAM !

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 29 Muharram 1430 H / 26 Januari 2009 M melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III di Padangpanjang - Sumatera Barat, telah mengeluarkan Fatwa tentang GOLPUT.

Kontan saja Fatwa MUI tersebut telah mengundang PRO - KONTRA. Tidak sedikit pihak yang mencaci maki MUI, bahkan ada yang menuntut MUI dibubarkan. Terjadinya debat sengit tentang Fatwa MUI tersebut bermula dari pemberitaan berbagai media yang menginformasikan secara singkat bahwa MUI memfatwakan GOLPUT HARAM. Padahal Fatwa MUI dimaksud tidak sesederhana itu.

Dalam Keputusan Komisi Fatwa MUI tentang Masail Asasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan) di butir ke-4 dinyatakan bahwa : MEMILIH PEMIMPIN YANG BERIMAN DAN BERTAQWA, JUJUR (SIDDIQ), TERPERCAYA (AMANAH), AKTIF DAN ASPIRATIF (TABLIGH), MEMPUNYAI KEMAMPUAN (FATHONAH), DAN MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN UMAT ISLAM, HUKUMNYA ADALAH WAJIB.

Selanjutnya, dalam butir ke-5 disebutkan bahwa : MEMILIH PEMIMPIN YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT-SYARAT SEBAGAIMANA DISEBUTKAN DALAM BUTIR 4 (EMPAT) ATAU TIDAK MEMILIH SAMA SEKALI PADAHAL ADA CALON YANG MEMENUHI SYARAT, HUKUMNYA ADALAH HARAM.

Jika diperhatikan dengan seksama isi kandungan fatwa tersebut ternyata tidak seperti yang diberitakan media. Bahkan dengan jujur harus diakui bahwa fatwa MUI tersebut cerdas dan mendalam, karena disamping berdiri di atas hujjah yang kuat, juga mampu memposisikan diri dengan arif dan bijak, serta selamat dari jebakan politik praktis yang membahayakan.

Uniknya, jika kita ringkaskan kedua butir Fatwa MUI di atas, lalu kita tarik "MAFHUM" nya justru akan menjadi kejutan tersendiri. Perhatikan butir ke-4 sebagaimana tersebut di atas, ringkasannya adalah bahwa : WAJIB MEMILIH PEMIMPIN YANG MEMENUHI SYARAT SYAR'I. Sebaliknya, butir ke-5 ringkasannya adalah bahwa : HARAM MEMILIH PEMIMPIN YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT SYAR'I.

Dengan demikian, MAFHUM butir ke-4 adalah HARAM GOLPUT JIKA ADA PILIHAN PEMIMPIN YANG MEMENUHI SYARAT SYAR'I. Sebaliknya, MAFHUM butir ke-5 adalah WAJIB GOLPUT JIKA TIDAK ADA PILIHAN PEMIMPIN YANG MEMENUHI SYARAT SYAR'I.

Disinilah cerdasnya Fatwa MUI tersebut. Fatwa itu tidak menyebut secara eksplisit tentang Haram atau Halalnya GOLPUT. Memang, bagi yang tidak mau sejenak merenung dengan nalar yang sehat dan pemikiran positif, tentu tidak mudah untuk menangkap pesan MAFHUM Fatwa dimaksud sebagaimana diuraikan di atas. Terlebih lagi bagi yang pola pikirnya selalu negatif dan sentimentatif terhadap MUI, maka tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar.

Sebagian orang memang sulit memahaminya, apalagi dalam sejumlah dialog yang dipublikasikan, saat seorang Tokoh MUI didesak dengan pertanyaan : "Jika tidak ada pilihan yang memenuhi syarat, apa kita boleh GOLPUT ?" Dengan tangkas Sang Tokoh menjawab :" Masa' sih, di antara sekian banyak calon pemimpin tidak ada yang memenuhi syarat ? Tentu ada !"

Sekali lagi, itulah cerdasnya MUI, tidak terpancing dengan desakan pertanyaan di atas yang sebenarnya ingin menjebak MUI agar menjawab GOLPUT itu BOLEH atau TIDAK BOLEH. Pancingan tersebut berbahaya, karena ingin menggiring MUI ke dalam POLITIK PRAKTIS.

Karenanya, tidak heran jika ada yang terpeleset dalam memahami Fatwa MUI tersebut. Ada kelompok GOLPUT yang gusar dan panik karena memahami Fatwa MUI sebagai PENGHARAMAN GOLPUT, sebaliknya yang ANTI GOLPUT justru mencurigai Fatwa MUI sebagai PEMBOLEHAN GOLPUT secara terselubung. Semua itu karena pemahaman sepihak yang parsial, tidak komprehensif, lalu mengambil kesimpulan subjektif. Bahkan mungkin yang bereaksi cepat justru belum membaca sama sekali bunyi redaksi dari Fatwa MUI yang dianggap kontroversial tersebut, ia hanya mengandalkan info media tanpa TABAYYUN.

Bagi saya, Fatwa MUI tersebut sudah pas dan tepat, karena saya memahami Fatwa tersebut dengan kesimpulan sederhana, yaitu : HARAM GOLPUT JIKA ADA PILIHAN PEMIMPIN YANG MEMENUHI SYARAT SYAR'I. Sebaliknya, WAJIB GOLPUT JIKA TIDAK ADA PILIHAN PEMIMPIN YANG MEMENUHI SYARAT SYAR'I.

Sedang soal apakah ada calon yang memenuhi syarat syar'i atau tidak, maka hal tersebut kembali kepada Fakta Lapangan. Yang jelas, sikap saya sesuai Fatwa Ketua Umum FPI, Hb.Muhammad Rizieq Syihab, yang sudah menjadi Keputusan Munas II FPI pada Desember 2008 lalu bahwa HARAM PILIH PARPOL / CALEG / CAPRES / CAWAPRES YANG TIDAK MENDUKUNG PEMBUBARAN AHMADIYAH ATAU YANG BERHALUAN SEPILIS (SEKULARISME, PLURALISME DAN LIBERALISME), TERMASUK SBY - JK JIKA TIDAK BUBARKAN AHMADIYAH ATAU TERUS MENERUS MEMBIARKAN KAUM SEPILIS MENISTAKAN DAN MENODAI ISLAM.

Nah, Fatwa FPI tersebut sejalan dan senafas dengan ruh Fatwa MUI, karena para PENDUKUNG AHMADIYAH atau PEMBELA SEPILIS jelas tidak memenuhi syarat syar'i untuk jadi pemimpin, sehingga HARAM DIPILIH, termasuk semua TOKOH AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) atau pun yang membela dan melindunginya agar kita tidak salah memilih. Namun jangan lupa, sejumlah Tokoh yang tidak tercantum diatas tersebut tapi ikut membela dan melindungi mereka, juga HARAM DIPILIH, termasuk yang membiarkan tidak memproses mereka secara hukum terkait peran mereka sebagai BIANG KEROK INSIDEN MONAS 1 JUNI 2008 sebagaimana pengakuan Kapolri di DPR RI pasca kejadian tersebut.

Jadi, Fatwa MUI sangat dinamis dan spektrumnya luas, maka pahamilah pesan mafhumnya secara seksama. Hanya saja memang, MUI perlu didorong agar lebih berani untuk berfatwa tentang DEMOKRASI, apa bagian dari Islam atau bukan ?! Sebab itulah akar persoalannya. Jika Demokrasi bukan bagian dari ajaran Islam, maka semua produk sistemnya harus ditolak. Jangan kita sibuk berfatwa tentang produknya, sementara sumber produknya kita tutup mata. Semoga MUI berjaya dan selalu istiqomah di jalan Allah SWT.